Awwâbun berasal dari bahasa Arab Awab yang artinya
adalah rujuk. Jadi, maka awwâb adalah rajja’ atau munîb, yaitu orang yang
sering bertaubat (dari dosa dan kesalahan). Shalat Awwâbîn adalah shalat
orang-orang yang taat kepada Allâh Azza wa Jalla. Shalat sunnah Awwâbîn
sebenarnya adalah Shalat Dhuha yang dilakukan setelah matahri terbit dan agak
meninggi hingga menjelang waktu shalat Zhuhur, sebagaimana disampaikan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. diantaranya:
Hadits Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu, ia berkata
:
خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَلَى أَهْلِ قُبَاءَ وَهُمْ يُصَلُّونَ، فَقَالَ: صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتِ
الْفِصَالُ
Rasûlullâh SAW keluar
menuju orang-orang di masjid Quba’ dimana mereka sedang melaksanakan shalat.
Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat Awwâbîn dilakukan
saat anak-anak unta telah kepanasan” [HR. Muslim no. 748]
Dalam riwayat Imam Ahmad dari Zaid bin Arqam
Radhiyallahu anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَتَى عَلَى مَسْجِدِ قُبَاءَ أَوْ دَخَلَ مَسْجِدَ قُبَاءَ بَعْدَمَا أَشْرَقَتِ الشَّمْسُ
فَإِذَا هُمْ يُصَلُّوْنَ فَقَالَ إِنَّ صَلاَةَ الأَوَّابِيْنَ كَانُوْا يُصَلُّوْنَهَا
إِذَا رَمَضَتِ الْفِصَالُ
Nabi SAW mendatangi atau
memasuki masjid Quba’ setelah matahari terbit yang ketika itu orang-orang
sedang melakukan shalat. Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Shalat Awwâbîn, mereka melakukannya saat anak unta kepanasan. [HR. Ahmad no.
19366]
Dari al-Qâsim asy-Syaibani Radhiyallahu anhu :
أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ، رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ
مِنَ الضُّحَى، فَقَالَ: أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ
السَّاعَةِ أَفْضَلُ، إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:
«صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ»
Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu melihat beberapa
orang yang sedang melaksanakan shalat di waktu Dhuha, maka ia berkata :
“Tidakkah mereka mengetahui bahwa shalat di selain waktu ini lebih utama ?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Shalat Awwâbîn
dilakukan saat anak unta kepanasan”. [HR. Muslim no. 748]
Baca juga : Tata cara shalat istisqa
Pengingkaran Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu ini
bukan pengingkaran terhadap keberadaan shalat Dhuha, akan tetapi
pengingkarannya supaya orang-orang melakukannya ketika matahari telah meninggi
sehingga mereka mendapatkan pahala yang lebih besar. Karena waktu pelaksanaan
shalat Dhuha (shalat Awwâbîn) yang paling utama adalah ketika matahari telah
memanas.
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata :
أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ لَسْتُ بِتَارِكِهِنَّ،
أَنْ لَا أَنَامُ إِلَّا عَلَى وِتْرٍ، وَأَنْ لَا أَدَعَ رَكْعَتَيِ الضُّحَى فَإِنَّهَا
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ، وَصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ.
Kekasihku telah mewasiatiku dengan tiga hal untuk
tidak aku tinggalkan; yaitu : Melakukan witir sebelum tidur, tidak meninggalkan
dua raka’at shalat Dhuha – karena sesungguhnya ia adalah shalat Awwâbîn
(shalatnya orang-orang yang taat kepada Allâh) – , dan puasa tiga hari setiap
bulan” [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 1223]
Demikian juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda;
لاَ يُحَافِظُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ أَوَّابٌ
وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِيْنَ
Tidak ada yang bisa menjaga shalat dhuha kecuali
orang awwab (sering bertaubat). Dan dia (dhuha) adalah shalat awwâbîn
(shalatnya orang yang senang bertaubat).” [Silsilah as-Shahîhah, no. 703].
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang
artinya-red), “Shalat Awwâbîn dilakukan saat anak unta kepanasan” ; yaitu
dengan memfathahkan huruf ta’ dan mim. Dikatakan ramidha – yarmadhu, maka hal
ini seperti kata ‘alima – ya’lamu. Makna ar-Ramdhâ’ yaitu kerikil yang menjadi
sangat panas karena terik matahari dimana saat kuku-kuku al-fishâl (yaitu
anak-anak unta yang masih kecil – bentuk jamaknya adalah fashîlun) terbakar
karena panasnya kerikil. Dan al-awwâb adalah orang yang taat (al-muthî’). Dan
dikatakan orang yang kembali kepada ketaatan. Di dalam hadits ini terdapat
keutamaan shalat pada waktu tersebut. Para shahabat kami berkata, “Ia merupakan
waktu shalat Dhuha yang paling utama, sekalipun shalat Dhuha boleh dilakukan
sejak matahari terbit dan agak meninggi hingga waktu zawal (tergelincirnya
matahari di tengah hari). [lihat Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 614;
Maktabah Ash-Shaid].
Namun ada anggapan dari sebagian orang yang
menamakan shalat sunah yang dilaksanakan antara waktu halat Maghrib dan Isya’
dengan istilah shalat awwâbîn sebagaimana yang ditanyakan.
Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Dalam
hadis ini terdapat bantahan bagi orang yang menamakan shalat enam rakaat
setelah shalat Maghrib dengan shalat Awwâbin, karena penamaan ini tidak ada
asalnya.” [Shahîh Targhîb wa Tarhîb, 1/423]. Memang ada beberapa hadis yang
menganjurkan shalat sunnah antara Magrib dan Isya, diantaranya hadits yang
diriwayatkan an-Nasâ’i, dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu
anhu mengatakan,
Baca Juga : Tata cara shalat jenazah lengkap
Saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan saya shalat Maghrib bersama Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat (sunnah) sampai Isya.
Al-Mundziri dalam at-Targhîb wa Tarhîb menyatakan,
sanad hadits ini jayid.
Setelah membawakan berbagai dalil tentang anjuran
shalat sunnah antara Maghrib dan Isya, as-Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Ayat dan hadits yang disebutkan menunjukkan disyaratkannya memperbanyak shalat
antara Maghrib dan Isya. Al-Irâqi mengatakan, ‘Di antara Shahabat yang
melaksanakan shalat antara Maghrib dan Isya adalah Ibnu Mas’ûd, Ibnu Umar,
Salmân al-Fârisi, dan Ibnu Mâlik dari kalangan Anshar Radhiyallahu anhum.
Kemudian di kalangan tâbi’in, ada al-Aswad bin Yazid, Utsmân an-Nahdi, Ibnu Abi
Mulaikah, Said bin Jubair, Ibnul Munkadir, Abu Hatim, Abdullah bin Sikkhir, Ali
bin Husain, Abu Abdirrahman al-Uhaili, Qadhi Syuraih, dan Abdullah bin
Mughaffal rahimahumullâh. Sementara Ulama yang juga merutinkannya adalah Sufyân
at-Tsauri. [Nailul Authâr, 3/60]
Sementara Ulama dari empat madzhab menegaskan
dianjurkannya melaksanakan shalat antara Maghrib dan Isya, berdasarkan hadits
dan praktik para sahabat. Bahkan Ulama madzhab Hambali menyebutnya sebagai
qiyâmul lail. Karena waktu malam itu yaitu waktu antara Maghrib sampai Shubuh.
Syaikh DR. Ibrâhîm ar-Ruhaili -Hafizhahullahu
Ta’ala- menyatakan bahwa sejumlah Ulama salaf menganjurkan untuk menghidupkan
shalat sunnah antara Maghrib dan Isya dan mereka katakana, ‘Ini waktu yang
dilalaikan (sâ’ât al-ghaflah). [Tajrîd al-Ittibâ, hlm 157].
Namun perlu diingat bahwa ini tidak menunjukkan
benarnya shalat yang dilakukan sebagian kaum Muslimin dengan membatasi enam
rakaat dengan pahala besar yang disetarakan dengan pahala ibadah 12 tahun.
sebab haditsnya lemah sekali. Hadits yang mereka gunakan adalah hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
– عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ
سِتَّ رَكَعَاتٍ ، لَمْ يَتَكَلَّمْ فِيمَا بَيْنَهُنَّ بِسُوءٍ ، عُدِلْنَ لَهُ بِعِبَادَةِ
ثِنْتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً .
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , beliau
Radhiyallahu anhu berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Barangsiapa melakukan shalat sunnah enam rakaat setelah shalat Maghrib dan di
antara shalat-shalat itu tidak berkata dengan kata-kata yang buruk, maka
shalatnya sebanding ibadah dua belas tahun.
Hadits ini diriwayatkan imam at-Tirmidzi no. 435 dan
Ibnu Mâjah no. 1374. Imam at-Tirmidzi setelah menyampaikan hadits ini berkata:
Hadits gharîb, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Zaid bin al-Hubâb
dari Umar bin Abi Khats’am. Beliau berkata lagi, ‘Aku telah mendengar Muhammad
bin Isma’il (imam al-Bukhari) menyatakan bahwa Umar bin abi Khats’am adalah
mungkarul hadits sangat lemah sekali.
Imam adz-Dzahabi dalam Mîzân al-I’tidâl 3/211: Umar
bin Abi Khats’am memiliki dua hadits yang mungkar yaitu:
أَنَّ مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ
Barangsiapa melakukan shalat sunnah enam rakaat
setelah shalat Maghrib
Dan
وَمَنْ قَرَأَ الدُّخَانَ فِي لَيْلَةٍ
Barangsiapa membaca surat ad-Dukhan pada satu malam
…
Dia meriwayatkan hadits dari Zaid bin al-Hubâb dan
Umar bin Yunus al-Yamâmi dan selainnya. Abu Zur’ah melemahkannya dan imam
al-Bukhâri menyatakan dia mungkarul hadits dan lemah sekali.
Ada lagi hadits lain yang mirip dengan ini yaitu:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنْ صَلَّى سِتَّ رَكَعَاتٍ بَعْدَ الْمَغْرِبِ
قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ غُفِرَ لَهُ بِهَا خَمْسِيْنَ سَنَةً .
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , beliau
Radhiyallahu anhuma berkata, “Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Barangsiapa shalat enam rakaat setelah shalat Maghrib sebelum
berkata-kata maka Allâh ampuni dosanya lima puluh tahun [HR Muhammad bin Nashr
al-Maruzi dalam Mukhtashar Qiyâm al-Lail hlm 131].
Hadits ini disampaikan ibnu Abi Hâtim rahimahullah
dalam al-Ilal 1/78 dann berkata: Abu Zur’ah rahimahullah berkata: Buanglah
hadits ini, karena mirip hadits palsu. Abu Zur’ah rahimahullah juga berkata:
Muhammad bin Ghazwân ad-Dimasyqi mungkar hadits.
Kesimpulan keduanya hadits yang sangat lemah sekali
dan tidak bisa dijadikan dasar dalam pensyariatan shalat enam rakaat setelah
Maghrib. Wallahu a’lam.
Demikian artikel Pengertian Shalat Awwabin semoga bermanfaat.
Assalamu'alaikum warohmatullah wabarokatuh.
Peraturan dalam berkomentar !
--------------------------------------------
1. Berkomentarlah yang relevan sesuai topik yang dibahas diatas.
2. Gunakan bahasa yang baik dan sopan.
3. Tidak Meninggalkan Link aktif.
4. Tidak berkomentar mengandung SPAM
EmoticonEmoticon